Munggahan, ini asal-usulnya
Masyarakat Jawa Barat khususnya orang Sunda memiliki tradisi yang unik menjelang bulan suci Ramadhan, tradisi unik tersebut dikenal dengan munggahan.
Munggahan dilakukan pada akhir bulan Sya'ban, biasanya dilakukan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama.
Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat Wisata bersama keluarga, ziarah ke makam orang tua atau orang Saleh, atau mengamalkan sedekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa).
Munggahan berasal dari Bahasa Sunda yaitu unggah yang berarti naik, yang bermakna naik ke bulan yang suci atau tinggi derajatnya. Tradisi munggahan dimaksudkan Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, untuk membersihkan diri dari hal-hal yang buruk di Sebelumnya dan agar terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di Bulan Suci Ramadhan.
Munggahan berasal dari bentuk relasi sosial masyarakat Sunda yang terstruktur mulai dari kelompok atas (Hinggil) sampai kelompok bawah (handap). Kelompok atas merupakan generasi pambajeng (anak pertama dan kedua) yang menetap di wilayah dalam. Sedangkan kelompok bawah adalah generasi anak bungsu atau kakak bungsu yang memilih untuk merantau atau menetap di luar kampung halaman.
Kelompok atas memiliki peran penting untuk menjaga kelangsungan keaslian budaya Ieluhur. Merekalah yang sering dikonotasikan sebagai kelompok Brahmana dan ksatria dalam pendekatan Hinduisme. Peran mereka menjaga kelangsungan keaslian budaya Ieluhur dianggap memiliki kedekatan dan dapat berkomunikasi melalui bahasa halus dan tinggi dengan Tuhan maupun ruh Ieluhur.
Sementara kelompok bawah yang memilih merantau berperan untuk mengembangkan ekonomi, sosial, dan politik bersama komunitas sesama perantau lainnya. Mereka inilah yang diidentifikasi menurut strata sosial Hinduisme sebagai kelompok Waisha dan sudra. Posisi mereka yang tak Iagi berada dalam pusat peradaban asli, sekalipun sebetulnya Iebih kosmopolitan, menjadikan mereka dianggap berjarak dengan Tuhan.
Karenanya kelompok bawah tak dapat berkomunikasi Iangsung dengan Tuhan maupun ruh leluhur sehingga perlu mediasi oleh kelompok atas (hinggil). Di bulan Rowan (Sya'ban) yang diyakini menjadi moment berkumpulnya ruh para leluhur, dipandang perlu untuk bertemunya seluruh anggota keluarga dari kelompok atas (Hinggil) maupun kelompok bawah (Handap).
Terutama kelompok bawah (Handap) perlu naik (munggahan) dengan cara merapat kepada kelompok atas (Hinggil) agar dapat berkomunikasi dengan ruh Ieluhur.
ltulah asaI-usul tradisi munggahan pada mula terbentuknya dalam komunitas Sunda. Dalam perkembangannya seiring berjalannya waktu, sesudah Islam masuk di daratan Sunda, tradisi munggahan pun mengalami perubahan dan penyesuaian.
Bulan Ruwah atau Sya’ban yang jatuh pada menjelang puasa dimaknai sebagai momentum merajut kekeluargaan dan kekerabatan. Sebelum mereka bersama-sama menjalankan puasa Ramadhan seluruh anggota keluarga berkumpul di kediaman keluarga yang paling tua; biasanya mereka menetap di daerah tinggi. Dalam momen kekeluargaan inilah, mereka ngariung (makan dan kumpul) bersama.
Terlebih dahulu mereka berziarah ke makam makam Ieluhur. Sesudah itu mereka menuju tempat rekreasi seperti Curug, taman gunung, kolam pemandian, yang diakhiri dengan makan bareng keluarga (Botram). Itulah etos kekerabatan dan kebersamaan dalam tradisi munggahan di masyarakat Sunda.
Sumber : Mediadesa
Posting Komentar